Allah membolehkan, bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa,
baik karena sakit yang ada harapan sembuh atau safar atau sebab lainnya,
untuk tidak berpuasa, dan diganti dengan qadha di luar ramadhan. Allah
berfirman,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184)
Kemudian, para ulama mewajibkan, bagi orang yang memiliki hutang
puasa ramadhan, sementara dia masih mampu melaksanakan puasa, agar
melunasinya sebelum datang ramadhan berikutnya. Berdasarkan keterangan
A’isyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
Dulu saya pernah memiliki utang puasa ramadhan. Namun saya tidak
mampu melunasinya kecuali di bulan sya’ban. (HR. Bukhari 1950 &
Muslim 1146)
Dalam riwayat muslim terdapat tambahan,
الشُّغْلُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
‘Karena beliau sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
A’isyah, istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
selalu siap sedia untuk melayani suaminya, kapanpun suami datang.
Sehingga A’isyah tidak ingin hajat suaminya tertunda gara-gara beliau
sedang qadha puasa ramadhan. Hingga beliau akhirkan qadhanya, sampai
bulan sya’ban, dan itu kesempatan terakhir untuk qadha.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر
Disimpulkan dari semangatnya A’isyah untuk mengqadha puasa di bulan
sya’ban, menunjukkan bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa
ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. (Fathul Bari, 4/191).
Bagaimana jika belum diqadha hingga datang ramadhan berikutnya?
Sebagian ulama memberikan rincian berikut,
Pertama, menunda qadha karena udzur, misalnya
kelupaan, sakit, hamil, atau udzur lainnya. Dalam kondisi ini, dia hanya
berkewajiban qadha tanpa harus membayar kaffarah. Karena dia menunda di
luar kemampuannya.
Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang sakit
selama dua tahun. Sehingga utang ramadhan sebelumnya tidak bisa diqadha
hingga masuk ramadhan berikutnya.
Jawaban yang beliau sampaikan,
ليس عليها إطعام إذا كان تأخيرها للقضاء بسبب المرض حتى جاء رمضان آخر ، أما إن كانت أخرت ذلك عن تساهل ، فعليها مع القضاء إطعام مسكين عن كل يوم
Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha
disebabkan sakitnyam hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia
mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan
bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang
puasanya.
Kedua, sengaja menunda qadha hingga masuk ramadhan berikutnya, tanpa udzur atau karena meremehkan. Ada 3 hukum untuk kasus ini:
- Hukum qadha tidak hilang. Artinya tetap wajib qadha, sekalipun sudah melewati ramadhan berikutnya. Ulama sepakat akan hal ini.
- Kewajiban bertaubat. Karena orang yang secara sengaja menunda qadha tanpa udzur hingga masuk ramadhan berikutnya, termasuk bentuk menunda kewajiban, dan itu terlarang. Sehingga dia melakukan pelanggaran. Karena itu, dia harus bertaubat.
- Apakah dia harus membayar kaffarah atas keterlambatan ini?
Bagian ini yang diperselisihkan ulama.
Pendapat pertama, dia wajib membayar kaffarah, ini adalah pendapat mayoritas ulama.
As-Syaukani menjelaskan,
وقوله صلى الله عليه وسلم: “ويطعم كل يوم مسكينًا”: استدل به وبما ورد في معناه مَن قال: بأنها تلزم الفدية من لم يصم ما فات عليه في رمضان حتى حال عليه رمضان آخر، وهم الجمهور، ورُوي عن جماعة من الصحابة؛ منهم: ابن عمر، وابن عباس، وأبو هريرة. وقال الطحاوي عن يحيى بن أكثم قال: وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia harus
membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin”, hadis ini dan hadis
semisalnya, dijadikan dalil ulama yang berpendapat bahwa wajib membayar
fidyah bagi orang yang belum mengqadha ramadhan, hingga masuk ramadhan
berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat yang
diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas,
dan Abu Hurairah.
At-Thahawi menyebutkan riwayat dari Yahya bin Akhtsam, yang mengatakan,
وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا
Aku jumpai pendapat ini dari 6 sahabat, dan aku tidak mengetahui adanya sahabat lain yang mengingkarinya. (Nailul Authar, 4/278)
Pendapat kedua, dia hanya wajib qadha dan tidak
wajib kaffarah. Ini pendapat an-Nakhai, Abu Hanifah, dan para ulama
hanafiyah. Dalilnya adalah firman Allah,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. (QS. Al-aqarah: 184)
Dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan fidyah sama sekali, dan hanya menyebutkan qadha.
Imam al-Albani pernah ditanya tentang kewajiban kaffarah bagi orang
yang menunda qadha hingga datang ramadhan berikutnya. Jawaban beliau,
هناك قول، ولكن ليس هناك حديث مرفوع
Ada yang berpendapat demikian, namun tidak ada hadis marfu’ (sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) di sana. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah
al-Muyassarah, 3/327). Demikian, Allahu a’lam. (konsultasisyariah)
0 Response to "Hutang Puasa Ramadhan Beberapa Tahun Belum Diqadha, Bagaimana Hukumnya? "
Post a Comment